The Potion - Bab I
12:39 PM
= THE POTION =
.
.
.
by blackospring
.
.
.
Genre : Chicklit, Drama, Slice of Life, Sisanya deskripsikan sendiri/teehee
.
4, ada 4 anak Adam dipertemukan untuk menjadi mainan Semesta. Menguntai cerita, saling menoreh luka, lalu saling mengobati dikemudian.
3, ada 3 dari 4 anak Adam adalah seorang pelari. Seorang peneropong handal. Ia adalah orang yang mencari seseorang lain diujung sana untuk ia kejar. Untuk ia buru. Untuk ia jadikan sebagai seseorang yang dapat selalu berada disisinya. Hingga ia terlalu sibuk hingga melupakan apa yang sedari dulu ada disisinya.
2, ada 2 buah kisah yang dibuat Semesta.
dan 1, hanya 1 takdir yang dapat mengurainya.
.
BAB I
Alfa Dian meninggalkan benda kubus yang kerap disebut
komputer setelah menerima panggilan seluler beberapa saat lalu.
Ia meninggalkan ratusan barisan kode yang tertera pada layar
monitor yang kini tidak lebih penting dari gadis didepannya yang tengah
menidurkan kepalanya pada meja bar. Mungkin gadis itu terlalu pening untuk
menahan beban kepalanya akibat minuman keras yang bahkan Alfa tidak tau berapa
banyak yang masuk kedalam kerongkongan gadis itu.
Alfa berjalan mendekat, menepuk pundak gadis bernama Adhara,
mencoba memberitahu akan kehadirannya.
“Ian,” Adhara sadar akan kehadirannya dengan setengah
kesadaran yang dimilikinya, ia menatap Alfa dengan mata yang sumpah demi Tuhan
paling Alfa benci.
Mata itu sembab bekas menangis, berkabut mungkin karena
alkohol, serta kosong akibat hatinya terlalu hancur disakiti pria brengsek yang
lagi-lagi meninggalkan gadis itu demi perempuan lain.
Pedih. Alfa merasa gagal untuk sekian kalinya. Gagal menjaga
binar mata Adhara untuk kesekian kalinya.
Alfa tak berucap apapun. Ia bingung untuk bicara apa. Atau
tidak mampu berbicara walau hanya sekedar “Dhar, kita pulang.”
Alfa hanya menyampirkan tangan kecil lunglai Adhara pada
pundaknya untuk membopong gadis itu pergi dari tempat yang sesak akan dosa ini
dalam diam. Adhara merancau tak jelas. Mungkin gadis itu sedang berusaha memaki
mantan pria nya, Alfa tidak tau.
Lelaki itu mendudukan gadis dalam dekapannya pada kursi
disamping pengemudi. Semua gerakannya tidak ada yang terkesan kaku seolah
memang hal yang seperti ini sudah biasa Alfa lakukan. Seolah Adhara yang
seperti ini sudah biasa.
Adhara dengan setengah kesadarannya, menyandarkan kepalanya
pada kaca mobil, menatap jalanan di malam hari dengan pikiran yang entah, dia
pun bingung ingin memikirkan apa. Ia lelah untuk berfikir. Ia lelah untuk
selalu ada dalam kondisi seperti ini.
Bayangan Andra yang meniduri perempuan lain beberapa saat
lalu kembali terlintas dalam pikirannya. Seolah bayang-bayang itu adalah sebuah
film yang terus diputar berulang-ulang untuk mengingatkan Adhara tentang apa yang
ingin dilupakannya. Sehingga ia kembali menangis.
Sementara Alfa yang duduk di bangku kemudi tetap
mengemudikan mobil dalam diam. Mencoba fokus pada aspal jalanan hitam
didepannya. Walau sungguh Alfa dapat mendengar suara isakan menyakitkan gadis
disampingnya dan Alfa mati-matian untuk tetap tenang karena ia sadar ia sedang
mengemudikan mobil dan ia juga tidak mau membahayakan nyawa Adhara hanya karena
emosinya yang tak dapat ia kendalikan.
Lampu berganti merah dan Alfa tidak pernah membeci lampu
merah lebih dari ini sebelumnya. Lampu merah ini hanya membuat suasana semakin
sesak saja. Alfa melirik Adhara yang masih saja terisak dalam diamnya. Suara
isakan itu seolah ditahan oleh si pemilik, seolah si pemilik tidak ingin Alfa
mendengarnya. Seolah gadis itu sedang berusaha untuk berdiri sendiri dan tidak
membiarkan Alfa membantunya. Oleh karena itu dengan gerakan sederhana, Alfa
mengulurkan tangannya, meraih tangan kanan Adhara yang sedang mencengkram
tangannya yang lain.
Pandangan Alfa masih lurus, namun sebelah tangannya mengelus
tangan Adhara. Memberitahu gadis itu bahwa ia tidak pernah sendiri. Memberitahu
Adhara bahwa saat gadis itu tidak bisa berdiri, panggil lah Alfa karena ia
pasti datang.
“Gue pikir... bajigan itu
orang yang tepat. Gue pikir, dia mungkin enggak
kayak yang dulu-dulu,”
“Gue pikir dia udah paling sempurna,”
“Dan demi tuhan Ian, gue bener-bener udah percaya sama dia,”
Diam. Hanya itu yang bisa Alfa lakukan. Alfa bingung untuk
menjawab apa, karena Alfa pun berpikir demikian. Karena Alfa kira, pria
brengsek bernama Andra itu dapat menjaga Adhara lebih baik dari pada
mantan-mantan Adhara sebelumnya.
“Ian, lo ngerasa gue bodoh kan?” Adhara terkekeh dengan
suara seraknya.
“Lo ngerasa bodoh kan karena walau gue udah sering kayak
gini gue masih kayak orang idiot nangis-nangis dan minum kayak orang kesetenan?”
“Lo ngerasa gue harusnya udah terbiasa kan? Terbiasa dengan
perasaan ditinggalin demi orang lain?”
“Dhara, Gue-“
“Gue juga sama, yan! Gue juga sama! Gue juga ngerasa gue
harusnya terbiasa dengan perasaan dan kondisi kayak gini!” Adhara berteriak
disertai dengan air mata yang tak hentinya keluar. Membuat Alfa semakin sesak. Adhara
menatap tepat di mata Alfa dengan wajah yang begitu menyakitkan. Adhara tidak
hanya menyakiti hatinya sendiri saat bertanya seperti itu, tapi juga menyakiti
Alfa.
“Gue ngerasa bego banget harus minum dan akhirnya lo harus susah gara-gara harus nganterin gue.
Bopong-bopong gue karena gue sendiri bahkan gak bisa nahan beban diri sendiri!”
Adhara masih melanjutkan kata-katanya. Sementara tangan Alfa yang terbebas
sedang berada didalam saku celananya. Berusaha tetap tenang.
“Tapi Ian, rasanya masih sakit. Rasanya masih sesak saat
liat orang yang lo percaya lebih milih orang lain yang lo bahkan gak tau siapa.
Sakit, yan, sakit banget disini.” Adhara memukul-mukul dadanya dengan kepalan
tangannya. Berharap apa yang ia lakukan setidaknya dapat menghilangkan rasa
sesak dihatinya. Sementara Alfa sendiri sudah tidak peduli dengan bersikap tenang.
Ia lupa akan sikap tenang saat mlihat Adhara melukai dirinya seperti itu. kedua
tangannya mendekap Adhara. Menyandarkan kepala gadis itu didadanya. Membiarkan gadis
itu menangis. Dan emosi Adhara rasanya semakin meluap saat Alfa melakukan itu.
rasanya buncahan emosi tidak kuasa lagi ia tahan, sehingga pada akhirnya ia
menumpahkan segalanya di dalam dekapan Alfa, membasahi kemeja putih Alfa dengan
air matanya.
“Yan, sebenernya gue salah apa. Gue kurang apa, Yan. Apa
salah gue sampe mereka selalu milih orang lain daripada gue?” Adhara berbisik
sambil terisak didadanya. Alfa tidak menjawab. Alfa sungguh tidak bisa
melakukan apapun kecuali mendekap erat Adhara, mencoba menyalurkan kekuatan
yang ia miliki untuk gadis itu.
Lampu telah berubah hijau, Alfa tau seharusnya ia mulai
menginjak pedal gas nya. Namun Alfa lebih memilih tetap diam dan mendekap gadis
itu. menyimpan dagunya tepat dipuncak kepala gadis itu serta berbisik.
“Maafin, gue.”
____
Sampai di apartement Adhara sudah tertidur karena kelelahan
menangis sehingga Alfa harus menggedongnya dari tempat parkir hingga kamar
gadis itu.
Saat Alfa menidurkan gadis itu ditempat tidurnya, Adhara
masih merancau tidak jelas. Dan memanggil-manggil Alfa untuk tidak pergi saat
Alfa hendak keluar dari kamar gadis itu. Namun Alfa adalah pria yang selalu
menggunakan logikanya, sehingga ia memilih untuk tetap keluar dari kamar itu
walau sempat mengelus kepala gadis itu dan mengatakan kalau gadis itu kalau dia
akan segera kembali.
Alfa kembali kedalam kamar Adhara dengan segelas air putih
yang disimpan di meja kecil dekat tempat tidurnya. Saat bangun nanti
kerongkongan gadis itu pasti akan terasa panas dan hal yang gadis itu butuhkan
hanyalah segelas air putih untuk meredakan rasa haus luar biasanya.
Adhara itu selalu mencari seseorang yang seperti obat yang
dapat menyembuhkannya. Ia terlalu sibuk mencari obat paling mahal, paling
ampuh, dan paling sempurna untuk menyembuhkan dia. Hingga dia lupa sebenarnya
bukan obat yang dia butuhkan. Bukan sesuatu yang mahal yang ia butuhkan. Hanya
segelas air putih tak berasa yang selalu diberikan Alfa padanya setiap pagi lah
yang sebenarnya ia butuhkan.
0 komentar